Rabu, 13 April 2011

SEBUAH REFLEKSI KRITIS TENTANG MANDAR

SEBUAH REFLEKSI KRITIS TENTANG MANDAR

Oleh :

Ishak Ngeljaratan

(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar)

 

1.       Yang Ringan dan Menarik

1.1    Masalah nama
Jika ada orang yang ditanya, “dari mana?” Dia mungkin menjawab, “dari Mandar” Jawaban yang demikian biasanya lanjut disusul dengan pertanyaan, “Mandar mana. Majene atau Polewali.” Yang ditanya akhirnya bisa menjawab secara pasti. “dari Polewali” atau “dari Majene” Dapat disimpulkan bahwa Mandar secara geografis tidak sebatas dengan wilayah keresidenan (Kabupaten) Polewali atau Majene, atau mungkin tidak sebatas kedua wilayah ini secara simultan, melainkan seluas wilayah yang diperjuangkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat (Provinsi Sulbar). Dengan kata lain, dalam konteks geografis dan bukan konteks kultural, istilah Mandar mencakup seluruh wilayah sulbar. Mungkin juga bisah diterima bahwa secara kultural dan terbatas, Mandar mencakup masyarakat Polewali, Majene, dan Mamuju. Jadi ada Mandar Polewali, ada Mandar Majene, dan ada Mandar Mamuju. Karena itu, Mandar, dalam Konteks Kultural, lebih sempit dari pada mandar dalam jangkauan makna geografis. Dalam konteks geografis, Provinsi Sulbar tidak hanya dihuni oleh masyarakat Mandar Polewali, Mandar Majene, dan masyarakat Mandar Mamuju, melainkan juga oleh masyarakat suku Toraja di Kabupaten Mamasa.

1.2    Fama dan Stigma
Orang luar Sulsel pada umumnya sudah mengenal Mandar dalam bingkai yang prestisious atau famous (fama = nama tenar karena baik) dalam kaitan dengan ungkapan-ungkapan seperti “Sarung Mandar,” “minyak goreng Mandar,” dan “Pisang Mandar.” Tempo doeloe, yang disebut sarung Mandar yang dicari-cari pembeli pastilah bermutu, baik dari segi kainnya, maupun dari segi tata wakna khas yang anti-luntur. Sarung Mandar menjadi primadona bagi pasar kain sarung di seluruh nusantara. Namun, penjiplakan nama sarung Mandar dan Pengatasnamaan jenis sarung ini demi laris di mata pembeli akhirnya melunturkan posisi sang primadona.

Tempo doloe, sebelum meluasnya pemasaran minyak goreng (Kelapa Sawit) asal fabrik dengan berbagai trade mark dan kemasan, minyak goreng Mandar yang paling digemari karena hasil olahan dalam suhu tinggi yang lama, juga karena aromanya yang merangsang nafsu makan. Selain itu, pisang Mandar yang dijual di pasar adalah pisang yang memang sudah tua atau bahkan sudah masak di pohon dan bukan pisang muda yang dikarbit sehingga tampak tua dan menarik.

Mandar juga sangat dikenal, terutama dalam kaitan dengan obat-obatan tradisional masyarakat Sulsel. Namun, Mandar dalam stigma tertentu dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu pusat pengobatan black magic yang amat ditakuti karena tinggi khasiat dan mujarabnya. Pelembekan kepala terhadap lawan yang ingin disengsarakan atau jenis black magic yang lain (di samping adanya white magic yang menjadi lawan terhadap black magic) menjadi cerita yang lazim terdengar.

2.  Sistem Nilai Budaya dan Seni

2.1 Nilai Budaya
Pada suatu saat Baharuddin Lopa ditanya, “mengapa menurut pendapat atau penilaian banyak orang. Pak Lopa adalah tokoh yang jujur dan berani. Almarhum Baharuddin Lopa menjawab, andaikan pertanyaan mereka itu benar, maka mungkin saya jujur dan berani justru karena saya ini orang Mandar, ketika hal ini ditanyakan kepada penyair nasional asal Mandar, Husni Djamaluddin, pernyataan Lopa itu dibenarkannya. Apa yang dia ucapkan, dia sudah lakukan. Satunya kata dengan perbuatan adalah nilai utama masyarakat Mandar yang dapat disampaikan dengan “lempu” (makna yang mencakup nilai kelurusan, kejujuran, keadilan, dan keikhlasan).

Hanya orang yang jujurlah yang dapat memelihara sifat berani, kesatrian, keteguhan pendirian, dan kekayaan nama baik. Jika seorang terus-menerus jujur dan adil di dalam mencari nafkah, di dalam berpolitik, di dalam bergaul, di dalam beragama, dan di dalam segala jenis kegiatan, maka orang demikian secara kumulatif akan berhasil membangun citra dirinya sebagai orang yang  bermartabat dalam arti punya kemuliaan dan kehormatan sebagai manusia yang diciptakan sesuai dengan “divine image” atau citra Iiahi. Hanya bermartabatlah benar-benar”atau” atau manusia yang punya “siri” Dengan kata lain, orang yang punya “siri” adalah manusia sejati yang punya kehormatan dan kemuliaan sebagai akibat aktualisasi “lempu” dalam seluruh proses hidupnya.

Tidak cukup atau tidak memadai dan bahkan terancam martabat atau harga diri seseorang sebagai manusiajika siri-nya tak bisa dipertahankan dan dipelihara serta kualitasnya gagal ditingkatkan.”siri” seseorang hanya bisa terjaga dan terangkat kualitasnya, jika keutamaan yang dimilikinya diabdikan juga bagi orang lain berdasarkan “pacce” Sikap kepedulian tinggi pada nasib orang lain dibuktikan dengan mengabdikan kekayaan, kepandaian, kesalehan, dan kelebihan lain yang dimilikinya untuk memperbaiki nasib orang lain, terutama nasib mereka yang lemah, teraniaya, dan ditinggalkan. “Sipakatao” dan “Sipakalebbi” adalah contoh sikap dan perbuatan yang dapat menjaga dan bahkan dapat meningkatkan kualitas siri. Semakin memberi kelebihannya bagi orang lain, semakin tinggilah kehormatan dan kemuliaan (siri) seseorang sebagai manusia dan hamba Allah di bumi.

“Lempu, siri-na-pace” harus ditopang oleh penggeledahan diri secara terus-menerus untuk mendeteksi pelanggaran yang mungkin telah dilakukan terhadap “lempu” dan terhadap “siri-na-pacce.” Pelanggaran terhadap nilai “lempu” harus disadari sebagai “rasa bersalah” yang menuntut pemulihan terhadap “lempu” melalui penyesalan dan pertobatan. Pelanggaran inilah yang mengamcam siri seseorang yang akhirnya menyebabkan sesorang itu bukan saja merasa bersalah sehingga ingin bertobat.melain kan juga merasa malu. Dia merasa malu karena merasa bersalah setelah tidak berlaku jujur dan adil. Namun, dia juga akan merasa malu karena sudah tidak berbuat kebaikan bagi orang lain yang membutuhkannya. Seorang ,yang punya “siri” sebagai akibat dari akumulasi perbuatan baik yang “lempu,” akan merasa malu jika tidak berbuat baik kepada orang lain. Dia akan merasa malu memamerkan kemewahan di tengah orang miskin. Dia akan merasa malu karena pandai sendiri di tengah masyarakat yang bodoh, juga malu jika salah sendiri di tengah masyarakat yang hidup ternista dan terhina dekadensi moral yang dialaminya. Perasaan prihatin dan peduli demikian bersendi pada rasa “pacce”. Pada akhirnya, seorang yang merasa bersalah dan merasa malu akan juga merasa takut jika berbuat salah dan melanggar rasa malu. Rasa takut inilah yang memagari seorang untuk tidak berbuat sesuatu yang melanggar “lempu, siri, dan pacce”. Nilai budaya “lempu” dan “siri-na-pacce” dapat dinyatakan sebagai inti nilai dengan istilah yang berbeda-beda menurut bahasa komunitas etnis di Sulsel. Nilai “tiga utama” ini ditopang oleh tiga nilai penopang, yaitu “rasa bersalah, rasa malu, dan rasa takut” yang ditegakkan oleh setiap pelaku budaya Mandar (Sulsel) secara kreatif –dinamis , konsekuan, dan konsisten. Ketig nilai “Lempu, siri-na-pacce” sebagai satu unit sistem nilai kultur sangat nyekrup dengan nilai-nilai ajaran agama Langit (Yahudi,Nasrani, Islam). Seorang pelaku budaya Mandar dapat terus-menerus mengaktualisasi ajaran agama dan budaya secara saling menunjang. Lambat laun, nilai-nilai budaya akan larut di dalam nilai ajaran agama (Islam) sehingga nilai budaya dan islam tidak bagaikan minyak dan air, melainkan bagaikan gula dan yang menyatu.

2.2 Seni
Tanpa hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak seluruh hasil penelitian tentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat dilahirkan karya tulis yang memadai. Namun, dalam batas makala pengantar diskusi atau makala pemicu, catatan ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan untuk memancing hal-hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan. Beberapa cabang seni Mandar dapat dikemukakan disini hanya semata-mata sebagai sample dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara turun-temurun. Masihkah masyarakat Mandar ingin menghiduokan kembali nilai-nilai utama, yang tetap relevan menembus saman dengan berbagai tantangan baru, sebelum di berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya, mustahil bisa diberdayakan. Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan. Lebih parah lagi budaya yang belum berdaya hendak di berdayakan oleh manusia yang tercabut dari akar budayanya sendiri atau oleh masyarakat yang kurang secara kultural.

(a)    Musik dan Lagu
Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.

Jika terdengar lagu “Tengga Tengga Lopi”terkesan suasana kelautan dan kebebasan orang Mandar, bukan saja sebagai pelaut dengan perahu “Lopi” –nya yang digunakan untuk menjinakkan samudera dan mengembara ke segala penjuru, melainkan juga mengungkap gaya kebebasan hidup orang Mandar yang pantang dibelenggu. Selain Perahu Lopi, Parahu Sande’ pun. Dalm ukuran yang jauh lebih kecildaripada Lopi digunakan secara luas oleh warga masyarakat untuk mencari nafkah dan mengangkut barang kebutuhan sehari-hari dari pulau ke pulau atau laut ke pantai dan desa. Perahu Sande’ pernah di pamerkan di Paris, Perancis 1997 dan bahkan di jadikan Maskot Pameran Bahari 1997 selam 11 bulan di Paris.

(b)    Sastra
Masyarakat Mandar pun kaya dalam kehidupan bersastra, terutama sastra jenis pantun, kalindada. Bentuk sastra ini bersampiran dan berisi. Sama dengan elong Bugis, Kalindada juga terdiri atas 8-8-4-8 suku kata dalam selarik di dalam sebaik yang terdiri atas larik. Jika dilagukan, maka larik ketiga yang hanya terdiri atas 4 suku kata biasa ditambah dengan bunyi penyedap (aule/kodong dsb) sehingga bentuknya menjadi 8-8-8-8. Selain keindahan struktur, makna yang disampaikan juga bermacam. Ada yang religius, sosial kemasyarakatan, cinta, aat istiadat, terutama dalam ritual perkawinan. Banyak nilai moral yang dikemas didalam Kalindada meski sering karena ketrebukaan watak orang Mandar, maka ekspresi Kalindada pun cenderung mendetil (terinci) atau dalam bentuk bahasa telanjang sehingga secara implekatif dapat mengundang sekian banyak tafsir, termasuk tafsir yang miring. Tafsir yang menganggap bahasa telanjang sebagai sesuatu yang bermuatan pornografi.

(c)    Seni Tari
Tari-tarian mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat.

Tari “Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar.

2.   Konteks Politik Masa Kini

3.1 Mandar dan Sulbar
Selam dua tahun terakhir, sangat kencang terdengar tuntutan pemekaran Provinsi Sulsel menjadi sejumlah provinsi. Tuntutan awal yang sangat menonjol terhadap berdirinya provinsi baru dengan nama Provinsi Sulawesi Barat atau Provinsi Sulbar dicetuskan oleh masyarakat Mandar. Berdirinya Sulbar sebagai provinsi baru menuntut pemekaran kabupaten sebagai prerequisite yang harus dipenuhi sesuai dengan undang-undang. Karena itu, Kabupaten Polewali –Mamasa dimekarkan menjadi Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa.

Usul agar kabupaten diubah menjadi Kabupaten Mandar sebaiknya diubah menjadi “KABUPATEN MANDAR POLEWALI” karena kemungkinan masih akan ada Kabupaten (Mandar-)Majene, dan Kabupaten (Mandar-)Mamuju, sedangkan Kabupaten Mamasa tetap saja Kabupaten Mamasa tanpa embel-embel lain seperti Mandar karena mayoritas masyarakat Mamasa termasuk masyarakat Toraja Barat. Bisa saja orang Mamasa yang ingin mengubah nama Kabupaten Mamasa menjadi Kabupaten Toraja Mamasa. Kata Toraja menunjukkan etnis budayanya, sedangkan Mamasa menunjukkan ikatan politik atau ikatan geografis yang menjadi tumpuan bagi institusi pemerintahan didalam wilayah Provinsi Sulbar yang akan dibangun. Karena itu, tak mengherankan bahwa para tokoh pendiri Provinsi Sulbar tidak menjadikan Sulbar Provinsi Mandar seakan-akan Provinsi Sulbar hanya khusus bagi masyarakat Mandar karena Kabupaten Mamasa aadalah juga bagian tak terpisahkan dari Sulbar.

3.2 Faktor Keadialan dan Sentralisme Kekuasaan
Desentralisasi dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui adalah sebuah proses yang bertolak belakng dari sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah menguasai masyarakat nusantara yang majemuk yang hidup di berbagai kepulauan nusantara yang bertaaburan diatas samudra. Mayarakat nusantara mengalami perlakuan yang tidak adil. Jalan keluar dari ketidakadilan adalah desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah. Dengan kata lain, otoda adalah anak kandung dari usaha untuk memerangi ketidakadilan dan usaha untuk mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan otoriter yang membelenggu rakyat atau masyarakat nusantara.

Bukan mustahil, lahirnya rencana Provinsi Sulbar adalah juga didasarkan pada reaksi politik terhadap ketidakadilan dan management pemerintahan daerah yang meniru-niru pusat. Kehadiran Provinsi Sulbar diharapkan dapat menjamin penegakan keadilan oleh pemerintah Provinsi (Sulbar) terhadap kabupaten-kabupaten hasil pemekaran.

Kata kunci bagi pengembangan Provinsi Sulbar yang sudah lama ditunggu follow-up hukum/undang-undang dan politiknya adalah “demokrasi, keadilan, dan kemajemukan.” Demokrasi menuntut dihormatinya perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat dengan background multi-ethnic yang saling berbeda. Perbedaan itu akan hadir dan menjadi sesuatu kenyataan hidup yang mempesona jika nilai keadilan justru menjadi kekuatan yang menjamin kerukunan hidup bagi masyarakat yang pluralis.

Catatan Tambahan
Catatan ini masih jauh dari target sebuah tulisan ideal, namun diharapkan bahwa kelanjutan diskusi akan menyempurnakan apa yang belum atau yang tidak diungkap dalam tulisan pendek ini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar